Posted by
Unknown
|
0
comments
Sedikit deskripsi tentang Bukan Musik Biasa
Bukan Musik Biasa adalah Forum Musik dan Dialog yang rutin perform tiap sekali dalam 2 bulan.
Surutnya forum-forum musik di Indonesia, kata mendiang Wayan Sadra, adalah latar yang mendasari lahirnya BMB. Terutama adalah meredupnya gairah Pekan Komponis Muda (PKM) yang dilahirkan oleh pemusik dan kritikus Suka Hardjana. Sejarah mencatat, PKM demikian bergairah dan sungguh penting bagi dinamika kehidupan musik, secara kompositoris maupun pelaku: para pemusik yang kemudian menyandang gelar komponis. PKM begitu penting dan perlu lantaran merupakan satu-satunya forum musik serius yang mengedepankan kebebasan kreativitas pada masa itu. Para komponis yang tampil di sana berlatar belakang basik musik yang bhineka. Bahkan, debut dari forum ini adalah mampu memparalelkan kretivitas komponis dengan basik musik etnis Nusantara dengan kreativitas yang lahir dari basik musik klasik-Barat. Banyak orang bilang, PKM juga mampu mewacanakan nilai-nilai kekinian musik etnik hingga mampu bersanding tanpa ada jarak dengan budaya musik apapun. Karya-karya yang sangat kental menggambarkan represntasi konsep dan pikiran kompositorik ini tertuang dalam buku Enam Tahun Komponis Muda: Sebuah Aletrnatif (1986) yang berisi catatan program dan diskusi panas di setiap penyelenggaraannya.
Hingga di pertengahan tahun 2000-an, tiada lagi forum sekaliber PKM yang menciptakan kesuburan kreativitas dan eksperimentasi bagi banyaknya varian musik yang ada. Kata mendiang Sadra, setelah PKM mengalami mati suri di tahun 1990-an, maka tiada lagi forum yang menjadikan kreativitas sebagai kata sakti, bahkan tanpa disadari terlanjur menjadi tujuan utama. Memang, paralel dengan arus desentralisasi sebagai buah dari orde reformasi, beberapa daerah dan kantong-kantong budaya yang memiliki resources kebudayaan yang kuat mulai menggagas dan mengadakan forum atau festival musik. (Ingat, sepanjang kejayaannya, PKM diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta—sebuah pusat dan sekaligus sebagai sumber arus utama bermacam kegiatan seni.) Hanya saja, forum yang tak terhitung jumlahnya itu kemudian raib dari agenda budaya para seniman. Beberapa di antaranya hanya terselenggara satu dua kali dan seterusnya tak ada kabar beritanya. Ada yang mampu menjaga kontinuitas penyelenggaraan namun tak bisa menjaga visi estetis yang hendak dikembangkan oleh forum tersebut. Tanpa mengurangi kehebatannya, negeri ini pernah menyatat Forum Musik September yang cuma sekali muncul (1998), namun memberi energi kreatif yang tak kalah penting dengan PKM. Ada juga Surabaya Full Music yang terselenggara setiap tahun sejak tahun 2000 dan bertahan selama hampir satu dasawarsa namun kehilangan tema di ujung ke hari baannya. Atau, Yogyakarta Contemporary Music Festival yang, maaf, kadang terselenggara kadang tidak, lantaran kesulitan dana dan/atau problem teknis lainnya.
Nah, pada momen-momen seperti inilah Sadra memulai BMB dengan ikhtiar untuk mengembalikan ruang gerak yang lebih luas dan mendesak agar energi-energi kreatif segera mendapatkan salurannya. Sadra, melalui BMB, mencoba membangun kembali wilayah kebebasan para komponis yang telah hilang, terutama pada generasi komponis muda. Ia bahkan juga mengajak para pemusik yang terlanjur memiliki visi dan cita-cita menjadi bagian dari pola musik industrial (pop) dan memimpikan kehidupan sebagai “super star” untuk kembali mengadakan perlawanan. “Dari pada kita rumongso melu dunia industrial tapi sesungguhnya tidak tersentuh, ora kathut, sama sekali, alangkah lebih baik mencari kemerdekaan dan mengekspersikan diri dalam kapasitas individual,” kata Sadra sekali waktu.
Embrio forum ini sebenarnya telah mekar jauh sebelum BMB lahir. Sadra pada tahun 1999 membuat Musik Akhir Bulan Genap (MABG)—sebuah forum yang memang selalu diadakan di setiap penghujung hitungan bulan genap (Februari, April, Juni, dst.), yang berarti diadakan setiap dua bulan sekali pula. Visi yang hendak diudar persis dengan BMB. Sayang, forum ini hanya bertahan sekitar 3 tahun. Belakangan MAGB muncul kembali. Hanya saja, oleh pengelola baru, forum ini bergeser konsepnya menjadi ajang bagi kelompok musik (combo band) yang menampilkan karya-karya industrial namun berada di jalur independet lable. Barangkali MABG dianggap kurang subversif, sehingga Sadra memunculkan BMB yang lebih membuka ruang pergulatan ide bagi para penampilnya.
Sebagai forum yang memerdekan gagasan-gagasan kreatif, BMB telah dengan sendirinya menempatkan diri sebagai laboratorium eksperimentasi bagi para komponis, untuk membangun kembali kreativitas, menemukan cara atau metode, konsep-konsep dan pikiran-pikiran baru dalam penciptaan musik. Bersyukurlah Sadra, untuk mengawal dan menjaga visi estetis tersebut ia mendapat mitra Taman Budaya Surakarta (TBS) yang mensuport hampir keseluruhan keperluan teknis yang dibutuhkan: Pendapa Wisma Seni sebagai venue, Sound System dan lighting berikut semua tim teknisnya, hingga akomodasi, konsumsi, serta publikasinya.
Sadra dan TBS lantas tak bisa dilepaskan dari dan dengan BMB. Ketiganya, dalam konteks ini, tak bisa dilepaskan dengan dunia musik kontemporer kita. Dalam hal ini, Sadra, secara personal, telah melahirkan dan menyebarkan ruang penciptaan musik kontemporer yang menjebol sekat-sekat kebudayaan musik. Sementara BMB memberi dan membuka ruang penciptaan bagi komponis muda untuk berkiprah di luar jalur musik mainstrem (pop) yang terlalu sempit untuk ruang ekspresinya. Adapun TBS sebagai institusi kebudayaan telah menunjukkan perannya yang sangat membuka ruang yang akomodatif bagi ide dan pemikiran yang tergolong berani. Betapa tidak, di tengah target in come finansial yang harus disetor ke kantor dinas Pariwisata Propinsi, lembaga pemerintah tersebut berani mensuport program BMB yang justru menggerogoti anggaran bulanan. Pada momen-momen ini, kontribusi Sadra, TBS, dan BMB sangat nyata dan sungguh tak bisa diabaiakan.
Pada semua ihwal di atas, dunia akan tahu bahwa dari awal BMB sudah memesona pada semua lini proses produksinya. Bukan semata karena istilahnya yang sudah meneror lantaran diksi yang digunakan telah menjadi konsep, visi, sekaligus “ruang” musikal itu sendiri. Bukan pula oleh tampilan para pemusik yang beraneka ragam visi artistiknya. Serta, bukan pula sebagai forum yang hanya akan mengakomodasi karya dan komponis baru. BMB adalah ruang perayakan pergulatan ide dan gagasan kreatif baik bagi para komponis, audiens, sekaligus penyelanggara yang dituntut untuk bisa menyediakan tema yang dinamis. Ruang yang di dalamnya meniscayakan dialog kritis antarpemusik, audiens, dan penyelenggaranya sekaligus.
0 comments: