Posted by
Unknown
|
0
comments
PERKEMBANGAN MUSIK KERONCONG DI SURAKARTA TAHUN 1960-1990
Genre musik keroncong ditanggapi
beragam oleh masyarakat. Ada masyarakat yang menyukai, ada masyarakat yang
kurang menyukai, dan ada masyarakat yang tidak menyukainya. Pemahaman
masyarakat tentang musik keroncong berbeda-beda dan sesuai dengan
perkembangan jaman. Pada awalnya pemahaman masyarakat tentang musik keroncong
sebatas hiburan. Pada masa modern ini pemahaman masyarakat terhadap musik
keroncong sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia yang harus dilestarikan.
Musik keroncong merupakan contoh terbaik sebagai sumber budaya yang dapat
dilebur menjadi suatu indentitas tersendiri.
1.
Keberagaman tersebut membuatnya menarik
untuk dikaji. Musik keroncong berasal dari jenis musik Portugis yang dikenal
sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal
niaga bangsa itu sejak abad ke-16. Musik ini disebut moresco. Masa evolusi
keroncong di mulai tahun 1880 hingga kini. Tahapan masa perkembangan
musik keroncong meliputi masa awal/tempo dulu (1880-1920), masa
tengah/keroncong abadi (1920-1959), masa keroncong modern (1959-2000), dan masa
keroncong millenium (2000-kini).
2.
Musik keroncong adalah musik yang mempunyai
karakter unik karena bisa beradaptasi dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada di
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan musik keroncong yang
berawal dari daerah Tugu di Batavia (Jakarta) kemudian berkembang
ke luar Jakarta seperti di kota Semarang dan Surakarta di Jawa Tengah,
Yogyakarta, serta kota Surabaya di Jawa Timur. Musik keroncong di Jawa Kemampuan beradaptasi ini
membuktikan bahwa musik keroncong dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Musik keroncong awal abad ke-20 belum memiliki bentuk yang sempurna, namun
sudah mendapat tempat di hati masyarakat. Hal ini diungkap oleh Tancil Paleo
yang menyatakan bahwa tahun 1920-an lagu-lagu keroncong sudah menyebar luas dan
digemari orang. Pada waktu itu perbendaharaan lagu-lagu keroncong masih kurang,
sehingga di Surakarta atau Jawa Tengah menjadi pusat pengembangan musik
keroncong dapat berpadu dengan beberapa lagu daerah yang diiringi alat
musik keroncong. Setelah Indonesia merdeka, perkembangan pusat musik keroncong
berpindah dari daerah Tugu di Jakarta ke daerah Jawa Tengah salah satunya
Surakarta yang menghasilkan jenis keroncong baru yaitu keroncong langgam. Kota
Surakarta menjadi barometer musik keroncong karena banyak grup orkes keroncong
yang berasal dari Surakarta, banyak seniman keroncong yang berasal
dari Surakarta seperti Gesang, Waldjinah, dan Sundari Soekotjo. Di Surakarta
muncul jenis musik keroncong langgam, dan terdapat perusahaan rekaman Lokananta
yang banyak merekam lagu-lagu keroncong pada tahun 1957-1983. Dalam kurun
waktu tahun 1957-1983 terdapat 11 grup orkes keroncong yang melakukan rekaman
di Lokananta, menghasilkan 25 Album Keroncong dan 296 lagu dengan rincian 217
lagu keroncong asli, 40 keroncong stambul, dan 56 keroncong langgam yang
direkam oleh perusahaan rekaman Lokananta.
3.
Penggunaan instrumen musik barat
menjadi instrumen pada musik gamelan. Keparalelan yang jelas adalah:
biola-rebab, flute-suling, gitar melodi-celempungan, keroncong (ukulele)-ketuk,
cello-kendang ciblon/batangan, bass(bila dipergunakan)-gong. Lihat, Harmunah.
1987.
Sumber : Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, hlm.
10
Dari Wawancara dilaksanakan dengan mewawancarai
narasumber yang kredibel yaitu pemimpin orkes keroncong Swastika yang
bernama Sapto Haryono, pegawai Taman Budaya Surakarta Agung Pamuji dan Suparman
di Surakarta. Sumber primer juga didapat peneliti meliputi dokumen-dokumen
seperti data album keroncong dari Lokananta tahun 1957-1983 yang diperoleh dari
perusahaan rekaman Lokananta di Surakarta, album keroncong berbentuk CD,
piringan hitam, daftar orkes keroncong di Surakarta tahun 1990-sekarang yang
diperoleh dari Taman Budaya Surakarta dan perusahaan rekaman Lokananta di Surakarta.
Sumber sekunder meliputi, jurnal, buku-buku, artikel dan koran yang
berkaitan dengan tema yang diangkat oleh peneliti. Tahap kedua yakni
kritik, kritik yang digunakan adalah kritik intern dan eksteren, kritik intern
dilakukan karena berhubungan dengan isi dan keakuratan dari data maupun
dari literatur-literatur yang diperoleh seperti sumber koran, majalah, serta
buku-buku yang menjelaskan tentang musik keroncong, sedangkan kritik intern
lebih menitik beratkan pada kebenaran isi dengan cara membandingkan sumber
primer dengan sumber sekunder untuk mendapatkan data yang relevan serta
menyeleksi data menjadi fakta. Kritik ekstern dilakukan untuk melihat keaslian
sumber seperti album-album Keroncong yang digunakan adalah album yang
diproduksi pada tahun 1957-1983 di Lokananta sebagai perusahaan rekaman yang
berada di kota Surakarta. Tahap ketiga adalah interpretasi untuk menganalisi
sumber yang saling berkaitan sesuai tema penelitian dan Hasil
rekonstruksi yang dihasilkan dari proses interpretasi yakni : (a) Musik
keroncong pertama kali berkembang di daerah Tugu, Batavia (Jakarta), (b) Pada
masa pendudukan Jepang pusat perkembangan musik keroncong bergeser ke
Surakarta, sebagai salah satu dampak dari porpaganda yang dilakukan oleh
Jepang, (c) Perkembangan musik keroncong di Surakarta dibagi dalam tiga
periode, periode pertama tahun 1957-1970 merupakan awal
perkembangan musik keroncong, periode kedua tahun 1971-1980 merupakan
puncak kepopuleran musik keroncong, dan periode ketiga tahun 1981-1990 musik
keroncong mulai mengalami kemunduran.
1. Sejarah Musik
Keroncong di Indonesia
Sejarah masuknya musik Keroncong ke
Indonesia bertepatan dengan pendaratan ekspedisi Portugis di Semenanjung
Malaka dan Kepulauan Maluku tahun 1512. Musik yang dibawa oleh Portugis dikenal
dengan Fado yang merupakan embrio musik keroncong. Musik keroncong awalnya
berkembang di daerah Tugu dan dimainkan oleh keturunan Portugis dikenal dengan mardijkers.
Asal nama “Keroncong” terdapat beberapa pendapat. Ada yang berpendapat
bahwa nama tersebut berasal dari terjemahan bunyi alat musik semacam
gitar kecil dari Polynesia (Ukulele) yang berbunyi crong, crong, crong. Musik
keroncong berkembang di pulau Jawa pada abad ke-20, yang dalam perkembangannya
terpengaruh oleh musik-musik daerah (tradisional), terutama di Jakarta, Jawa
Tengah, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, dan di Jawa Timur (Surabaya). Penyebaran
musik keroncong tersebut dilakukan dengan berbagai cara antara lain lomba
keroncong ( kroncong concours ), melalui media rekam dalam bentuk
piringan hitam yang didengarkan melalui gramophone, melalui radio,
penyanyi dan musisi keroncong, dan lain-lain.
Musik keroncong mulai dikenal melalui radio sejak pertama kali radio
mengudara di Jawa tahun 1925 yaitu NIROM ( Nederlands Indische Radio
Omroep Maatschappy), tahun 1933 sampai 1939 di CIRVO (Chineesche
Inheemsche Radioluisteraars Vereniging Oost Java), kemudian di Jakarta pada
tahun 1942-1945 di radio Hosokanxikyoku.
Pada masa pendudukan Jepang, Jepang juga mengijinkan
perkumpulan budaya yang dikenal dengan nama
Keimin Bunka Shidosho Hal tersebut juga diungkapkan oleh Ganap dalam
penelitiannya yang menjelaskan:
“During Japanese
occupation, keroncong music has ever been banned by Keimin Bunka Shidosho(people’s cultural agency), due
to its servility or puppy love atmosphere, and tearful text expressed by the
crank musicians.”
Pelarangan Jepang terhadap pertuntukan
Keroncong Tugu yang menganggap irama musik Keroncong Tugu yang rancak (cepat
dan bersemangat), dikhawatirkan dapat membangkitkan semangat pemuda dan memicu
pemberontakan. Pada masa Jepang, terjadi
pergeseran pusat perkembangan musik Keroncong di Jawa yaitu dari daerah
Tugu ke Jawa Tengah khususnya Surakarta dan Yogyakarta. Musik keroncong
yang berkembang di Surakarta yang lebih
beraliran lembut dan mendayu-dayu dianggap Jepang tidak membahayakan. Pada saat
inilah dimulai perpindahan pusat
perkembangan musik keroncong dari daerah Tugu ke Jawa Tengah khususnya
Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa revolusi kemerdekaan tahun 1945 diciptakan
lagu-lagu keroncong bertema perjuangan dan semangat cinta tanah air. Salah satu
lagu yang terkenal sebagai pembangkit semangat perjuangan antara lain Sepasang
Mata Bola, Jembatan Merah, dan lain-lain. Pada masa orde lama, diberlakukan
kebijakan untuk membatasi budaya barat yang masuk ke Indonesia. Hal ini dimanfaatkan
oleh para seniman musik keroncong untuk lebih giat mempopulerkan musik
keroncong sebagai kebudayaan Indonesia. Hal ini masih berlanjut pada masa Orde Baru, dimana pada tahun
1970-1980-an menjadi masa perkembangan industri musik di Indonesia termasuk juga
musik keroncong. Sejak era Presiden Soeharto tahun 1966-1998 musik keroncong
mendapat tempat yang spesial. Pada setiap acara resmi kenegaraan, Presiden
Soeharto selalu mengundang pertunjukan musik keroncong di Istana Negara. Pada
tahun 1970-1980-an dikenal sebagai masa keemasan musik keroncong. Setelah
industri rekaman piringan hitam beralih
ke industri rekaman kaset, banyak lagu-lagu keroncong direkam ulang dalam
bentuk kaset yang diputar menggunakan tape recorder, lebih praktis dari
gramophone dan lebih bagus suaranya. Musik keroncong pada saat itu juga
diaransir dengan irama pop sehingga lebih diterima oleh kaum muda. Banyak
grup band yang membuat rekaman lagu
keroncong versi pop, yang kemudian disebut pop keroncong. Hampir semua grup
band yang terkenal waktu itu berlomba membuat rekaman lagu keroncong, seperti
Koes Plus, The
Mercy’s, Panbers, Favourite’s, dan lain sebagainya. Penyanyi
keroncong yang populer pada masa itu antara lain Waljinah. Beberapa penyanyi
pop seperti Hetty Koes Endang dan Mus Mulyadi juga ikut menyanyi dengan irama
pop keroncong. Jenis musik keroncong di Indonesia bila dibagi berdasarkan waktu menjadi:
a)
Keroncong awal yang dikenal denang
jenis keroncong Moresco atau keroncong asli dan Stambul.
b)
Keroncong tengah, jenis keroncong yang
berkembang adalah keroncong beat.
c)
Keroncong Modern, jenis keroncong
antara lain keroncong beat. Surakarta Sebagai Pusat Barometer Musik Keroncong
2. Surakarta Sebagai Pusat
Barometer Musik Keroncong
Secara geografis kota Surakarta berada
antara 110o45’15” - 110o45’35”BT dan 7o36’00” - 7o 56’00”LS serta memiliki luas
wilayah 44,04 km2.12 Surakarta merupakan kota budaya yang merupakan kota kedua
terbesar di propinsi Jawa Tengah setelah Semarang. Pada masa penjajahan Belanda
Surakarta merupakan pusat Karesidenan Surakarta yang wilayahnya meliputi
Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten. Kota ini
menempati posisi penting dalam peta
politik nasional. Keberadaan Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran juga
menjadi salah satu alasan mengapa Surakarta menjadi kota pelestari budaya
khususnya budaya Jawa. Surakarta menjadi
pusat karesidenan karena kota Surakarta memiliki ekonomi yang lebih maju dari
daerah sekitarnya. Hal ini berpengaruh pada penduduknya yang homogen, terdiri
dari kaum bangsawan dari Keraton, warga keturunan Arab, dan etnis Tionghoa.
Pusat perekonomian di Karesidenan
Surakarta membuat sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai
pedagang. Surakarta menjadi kota pelestari budaya tidak lepas dari peran
masyarakat dan pemerintah. Jenis budaya
yang dilestarikan meliputi seni tari, seni
pertunjukan, dan seni musik termasuk musik keroncong. Masyarakat
Surakarta memberikan apresiasi yang besar terhadap musik keroncong, karena
menganggap musik keroncong memiliki ciri khas yang unik. Apresiasi terhadap
musik keroncong yang diberikan masyarakat Surakarta tidak lepas dari anggapan
bahwa dengan adanya musik keroncong maka kebudayaan Surakarta akan dikenal
sampai keluar Surakarta bahkan ke seluruh Indonesia.13 Keberadaan grup-grup
musik keroncong hampir di setiap wilayah di Surakarta. Hal ini didukung dengan
adanya tempat-tempat umum untuk pertunjukan
budaya seperti Taman Sriwedari, Taman Budaya Surakarta, dan lain-lain
sebagai perwujudan bentuk apresiasi/dukungan masyarakat dan pemerintah
Surakarta terhadap perkembangan musik keroncong. Masuknya musik keroncong di
Surakarta sebenarnya telah terjadi sejak tahun 1940-an. Namun, perkembangan musik keroncong di Surakarta
mengalami perkembangan pesat sejak tahun
1960. Latar belakang Surakarta menjadi pusat perkembangan musik keroncong
dibagi menjadi beberapa faktor yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor
eksternal Surakarta sebagai pusat
barometer musik keroncong antara lain:
(1)
Adanya tekanan dan pembatasan dari
pemerintah Jepang terhadap warga keturunan Portugis di Tugu;
(2)
Larangan pertunjukan musik keroncong di Tugu.
Faktor eksternal perpindahan pusat musik keroncong dari
Jakarta ke Jawa Tengah khususnya Surakarta adalah pada masa pendudukan Jepang
tahun 1942, warga keturunan Tugu yang dikenal dengan sebutan De Mardijkers dianggap
sebagai musuh Jepang karena merupakan bagian dari orang Barat. Penduduk Tugu
banyak yang meninggalkan kampung tugu dan
pindah ke tempat yang lebih aman. Sebelum perang dunia ke II terdapat
kurang lebih 60 kepala keluarga di Kampung Tugu, tetapi kemudian hanya terdapat
kurang lebih 42 keluarga yang terdiri dari orang-orang tua. Jumlah 42 keluarga
yang masih tersisa di kampung Tugu disebabkan karena terjadi perpindahan
keluarga tersebut diatas ke Jawa Barat, Irian Barat, Jawa Timur, bahkan Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang juga dilakukan larangan pertunjukan musik keroncong
di Tugu yang mengakibatkan banyak grup musik keroncong yang bubar, salah satunya Orkes Krontjong Poesaka
Moresco. Jepang menganggap bahwa irama musik Keroncong Tugu yang rancak (cepat
dan bersemangat) dapat membangkitkan semangat pemuda dan memicu pemberontakan. Pembentukan perkumpulan budaya
keimin bunka sidosho merupakan salah satu bentuk propaganda Jepang untuk menarik simpati
masyarakat. Kebijakan yang dilakukan Jepang berdampak pada lambatnya perkembangan
musik keroncong khususnya di Jakarta terutama Tugu yang merupakan asal musik
keroncong. Faktor internalnya antara lain:
(1)
Keberadaan kota Surakarta sebagai pusat
Karesidenan membuat kebudayaan baru mudah diterima;
(2)
Jepang mengijinkan dan mendukung
perkembangan musik keroncong di Surakarta yang irama musik keroncongnya
memiliki tempo lebih lambat dan tidak membahayakan;
(3)
Lahir grup-grup musik dan musisi
keroncong di Surakarta;
(4)
Muncul jenis keroncong langgam;
(5)
Adanya perusahaan rekaman Lokananta.
Faktor internal Surakarta menjadi
pusat perkembangan musik keroncong
antara lain karena keberadaan kota Surakarta sebagai pusat Karesidenan yang
masyarakatnya homogen, sehingga membuat kebudayaan baru mudah untuk diterima.
Pada masa Jepang, musik keroncong sudah menjadi bagian dari seni masyarakat
Surakarta. Musik keroncong yang awalnya telah berkembang lebih dahulu di
Jakarta juga dapat diterima di Surakarta. Pergeseran pusat perkembangan musik
keroncong di Jawa ini menjelaskan perkembangan musik keroncong yang lahir dari
kampung Tugu mulai bergeser ke Jawa Tengah, khususnya Surakarta dan Yogyakarta.
Jepang mengijinkan dan mendukung perkembangan musik di Surakarta karena
menganggap irama musik keroncong langgam yang dibawakan dalam tempo lebih
lambat tidak membahayakan. Hal tersebut mendorong mulai munculnya grup-grup
musik dan musisi keroncong di Surakarta. Bukti lainnya dengan adanya
penyelenggaraan Concours Keroncong oleh Solo Hosokyoku tahun 1944 yang diikuti
penyanyi-penyanyi keroncong dari seluruh
pulau Jawa. Pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1950) perkembangan musik keroncong di Surakarta
kurang mendapat sorotan, pada masa itu sebagian besar radio memutarkan
lagu-lagu keroncong yang bersifat patriotik dan nasionalis yang bertujuan untuk
mengobarkan semangat juang bangsa Indonesia. Masa keroncong ini dikenal dengan
keroncong revolusi. Para komposer yang menciptakan lagu keroncong masa ini
antara lain Ismail Marzuki, Kusbini, Maladi, Samsidi, Mardjo Kahar dan
lain-lain. Lagu-lagu yang populer pada masa ini antara lain Sepasang Mata Bola
diciptakan tahun 1947, Bandung Selatan di Waktu Malam tahun 1948, Selamat
Datang Pahlawan Muda tahun 1949, dan masih banyak lagi. Di Surakarta musik
keroncong mulai banyak digemari setelah dikombinasikan dengan budaya Jawa yaitu
langgam Jawa yang menghasilkan jenis musik keroncong langgam. Adanya kedekatan
budaya musikal orang Surakarta dengan keroncong membuat perkembangan musik ini menjadi cepat
berkembang dan mudah diterima masyarakat. Seniman dan peminat musik keroncong
di Surakarta semakin banyak. Alat musik keroncong yang digunakan juga
berakulturasi dengan musik tradisional seperti gamelan sehingga nada yang
dihasilkan lebih tenang dan lembut. Perpindahan nadanya lebih lambat dan
cengkok yang dihasilkan membuat keroncong yang berkembang di Surakarta terdapat
perbedaan dengan adanya jenis keroncong langgam. Perkembangan musik keroncong
di Surakarta salah satunya melalui siaran radio, oleh karena itu penggemar musik keroncong tidak terbatas
pada beberapa golongan tertentu saja,
melainkan dari berbagai golongan dan semua tingkatan usia. Musik keroncong yang
berkembang di Surakarta meliputi jenis keroncong asli, keroncong langgam dan
keroncong stambul. Di Surakarta terdapat perusahaan rekaman nasional bernama
Lokananta yang didirikan tahun 1956 yang banyak menyimpan arsip rekaman sejak
tahun 1957-1990-an. Banyak album keroncong direkam di Lokananta pada kurun
waktu tahun 1957-1983. Rekaman lagu-lagu keroncong tersebut mempermudah
masyarakat untuk mendengarkan musik keroncong lewat media pita kaset, tape
recorder, hingga yang terbaru dalam bentuk CD dan membuat musik keroncong di
Surakarta dapat dinikmati oleh semua kalangan. Adanya tempat-tempat untuk
kegiatan kesenian seperti Sriwedari, Balai Sujadmoko, dan lain-lain menjadikan
kota Surakarta dikenal sebagai pusat
perkembangan musik Keroncong. Sampai saat ini tempat-tempat tersebut
menjadi tempat untuk mengadakan
pertunjukan musik keroncong secara berkala. Hal ini merupakan salah satu
upaya masyarakat dan Pemerintah kota Surakarta untuk memfasilitasi para seniman
dan penyanyi keroncong bertujuan untuk
berkreasi dan untuk melestarikan budaya khususnya musik keroncong. Di Surakarta
banyak grup musik keroncong baik amatir maupun profesional. Grup-grup musik
keroncong yang terkenal di Surakarta pada waktu itu diantaranya adalah Bunga
Mawar, Irama Sehat, Sederhana, Satria, dan Cempaka Putih, Suara Kencana, Radio
Orkes Surakarta, Cendrawasih, Nada Pratidia, Mawar Sekuntum, dan Rhapsodia.
Grup musik keroncong profesional yang
cukup populer berasal dari Surakarta yang pernah melakukan rekaman album
keroncong di Studio Musik Lokananta antara lain Orkes Keroncong Bintang
Surakarta pimpinan Waldjinah, sedangkan grup musik keroncong amatir cukup
banyak karena hampir di setiap Rukun Tetangga memiliki grup musik keroncong
sendiri dan formasi pemain sering berganti-ganti. Data terakhir yang dimiliki
oleh pemerintah Surakarta terdapat kurang lebih 35 grup musik keroncong yang masih
eksis hingga sekarang. Oleh masyarakat Surakarta, keberadaan grup musik
keroncong ini selain untuk melestarikan kesenian musik keroncong juga bertujuan
untuk berkumpul dan menyalurkan hobi. Pembawaan musik keroncong di Surakarta
memiliki ciri khas sendiri yang berbeda dengan Jakarta. Keroncong gaya
Surakarta mempergunakan alat ukulele stem E dengan tiga tali. Cara memainkannya
dipetik satu per satu pada talinya
sesuai dengan akor yang dibawakan. Pada birama ke empat atau ke delapan sering
ditambah dengan petikan sinkop. Permainan gitar tidak begitu menonjol, hanya
mengimbangi jalannya tempo. Cello sangat penting karena bertugas sebagai
kendang yang memberikan tanda memasuki irama rangkap. Permainan Bas bebas
bervariasi menyesuaikan dengan tempo dari
pemain cello. Biola dan flute bertugas sebagai pembawa lagu. Musik
keroncong mengalami perkembangan yang
pesat di Surakarta, salah satunya dibuktikan dengan munculnya jenis
keroncong langgam sebagai hasil akulturasi musik keroncong dengan musik
tradisional. Partisipasi masyarakat dan pemerintah dalam melestarikan budaya
menjadi faktor penting musik keroncong dapat berkembang pesat dan kota
Surakarta menjadi pusat perkembangan musik keroncong.
3. Perkembangan Musik
Keroncong di Surakarta Tahun 1960-1990.
Perkembangan Musik Keroncong di
Surakarta pada tahun 1960 tidak terlepas
dari keberadaan Studio Musik Lokananta yang diresmikan pada 29 Oktober 1956
oleh Menteri Penerangan Soedibjo yang merupakan studio rekaman pertama di
Indonesia. Studio rekaman Lokananta yang banyak menyimpan lagu-lagu baik dalam
bentuk piringan hitam, pita kaset, maupun yang terbaru dalam bentuk kaset CD.
Lokananta menyimpan arsip lagu dari tahun 1957 hingga tahun 2000, sedangkan
untuk musik jenis keroncong Lokananta menyimpan arsip dari tahun 1957-1983.
Lokananta sekarang ini juga difungsikan sebagai museum dan dapat dikunjungi
oleh masyarakat. Data yang diperoleh dari Lokananta tentang album keroncong
dalam kurun waktu tahun 1957-1983 dikatakan bahwa terdapat 11 grup orkes
keroncong yang melakukan rekaman di Lokananta, menghasilkan 25 Album Keroncong
dan 296 lagu dengan rincian 217 lagu keroncong asli, 40 keroncong stambul, dan
56 keroncong langgam. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa keroncong asli
berada pada urutan pertama dengan jumlah
lagu kerocong terbanyak yang direkam yaitu 217 lagu, sedangkan keroncong
langgam menempati urutan kedua dari lagu keroncong yang direkam dengan jumlah
56 lagu dan yang terakhir adalah keroncong stambul dengan jumlah 40 lagu.
Ketiga jenis keroncong tersebut tidak direkam sendiri-sendiri melainkan dalam
setiap album hampir semua terdapat ketiga jenis keroncong yaitu keroncong asli,
stambul, dan langgam. Berikut ini adalah daftar hasil klasifikasi lagu-lagu
keroncong secara umum.
Jenis
musik keroncong yang berkembang di Surakarta
antara lain:
a)
(a)Keroncong Asli;
b)
(b) Keroncong Stambul;
c)
(c) Keroncong Langgam.
Keroncong asli merupakan jenis musik
keroncong dimana sebagian lagu-lagunya adalah lagu-lagu asli Portugis.
Perkembangan musik keroncong asli mengalami perubahan karena lagu-lagunya
berkembang dan tersebar secara lisan tanpa ada catatan. Ciri khas pembawaan
jenis musik keroncong asli di Surakarta dimainkan dengan irama musik yang
harmonis dan kadang melankolis. Syair lagu keroncong asli dibawakan dengan
melodi dan syair yang improvisatoris, ber-cengkok dan gregel. Sedangkan
ritme/irama musik keroncong asli sering tidak pas nadanya dengan syair yang
dilagukan, sehingga dalam istilah keroncong disebut nggandul. Tempo irama dalam
musik keroncong asli umumnya menggunakan nada/irama andante dan moderato. Alat
musik keroncong secara umum ada tujuh macam, yaitu
(1) biola.
(2) flute (seruling).
(3) gitar.
(4) ukulele.
(5) banyo (cak atau cak tenor).
(6) cello.
(7) bass.
Apabila sudah ada ke tujuh alat musik
tersebut, maka permainan musik keroncong dapat dikatakan lengkap. Peran
masing-masing alat terbagi menjadi dua yaitu sebagai
(1) pemegang melodi meliputi biola, dan flute (seruling).
(2) sebagai pengiring meliputi gitar, ukulele, banyo, cello,
dan bass.
Nada dan irama khas keroncong asli
memiliki jumlah birama 28 dengan bentuk kalimat A-B-C dinyanyikan dua kali.
Bentuk iringan musik dalam lagu keroncong asli diawali oleh intro yang diambil
dari baris 7 (B3) mengarah ke nada awal lagu yang dilakukan oleh alat musik
melodi seperti flute, biola, atau gitar dan interlude. Di tengah-tengah nada
dalam musik keroncong memiliki modulasi yang standar untuk semua keroncong
asli.
Keroncong jenis kedua di Surakarta
adalah keroncong stambul. Stambul yang berkembang di Surakarta merupakan jenis
lanjutan yang sebelumnya telah berkembang di Jakarta. Di Surakarta jenis
keroncong ini kurang populer seperti jenis keroncong asli, namun dalam setiap
album keroncong yang diproduksi terdapat beberapa lagu keroncong stambul.
Jumlahnya kebanyakan kurang dari 5 judul lagu. Hal tersebut merupakan salah
satu bentuk upaya melestarikan musik keroncong dimana sebagian besar rekaman
album keroncong yang dilakukan oleh Lokananta dalam setiap albumnya terdapat
ketiga jenis musik keroncong asli, stambul dan langgam. Jenis stambul yang
terdapat dalam album keroncong produksi Lokananta meliputi stambul I dan
stambul II. Ciri umum dari keroncong stambul adalah jumlah birama 16 birama.
Tempo yang digunakan dalam keroncong jenis stambul adalah andante. Alat musik
yang digunakan sama dengan keroncong asli yaitu biola, flute (seruling), gitar,
ukulele, banyo (cak atau cak tenor), cello, dan bas.
Perbedaan antara stambul I dan stambul
II adalah pada stambul I musik dan vokal
saling bersautan yaitu dua birama instrumental dan dua birama berikutnya diisi
oleh vokal, begitu seterusnya hingga lagu berakhir. Sedangkan pada stambul II
vokal dinyanyikan secara recitatif yaitu peralihan dari akor I ke akor IV tanpa
iringan. Pembawaan nada melodi dan syair dalam stambul II improvisatoris sama
dengan keroncong asli, dengan cengkok dan gregel. Pembawaan nada vokal dalam
keroncong stambul bersifat halus dan lembut, serta mengharukan dan penuh
percintaan. Jenis keroncong stambul terdiri dari dua bentuk yaitu stambul I dan
stambul II. Lagu-lagu jenis stambul I antara lain Baju Merah. Stambul II contoh
lagunya Jali-jali, Patah Di Jalan, Kecewa, Kicir-kicir, dan lain-lain. Jenis
keroncong yang ketiga adalah keroncong langgam.Keroncong langgam merupakan
jenis keroncong baru yang lahir di
Surakarta. Jenis keroncong langgam ini dipopulerkan oleh seniman Andjarani dan
juga Waljinah yang berasal dari Surakarta. Dalam mempopulerkan musik keroncong
langgam, mereka membentuk grup orkes keroncong yaitu Cempaka Putih untuk
Andjarani dan Bintang Surakarta untuk Waldjinah. Jenis keroncong langgam mulai
dikenal luas oleh masyarakat sejak tahun 1966 ditandai dengan dilakukannya
rekaman album keroncong yang salah satu lagu yang populer berjudul Yen Ing
Tawang Ono Lintang yang di komposeri oleh Andjarani. Ciri umum dari keroncong
langgam ini antara lain syair lagu keroncong yang dinyanyikan kebanyakan
menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa halus. Keroncong langgam memiliki
ciri tangga nada dan ritme yang diarahkan dari musik daerah. Keroncong langgam
yang berkembang di Surakarta memanfaatkan beberapa alat musik gamelan yang
dipadukan dengan alat musik keroncong yang sudah ada. Jadi seolah-olah musik
gamelan bisa dimainkan bersama dengan beberapa alat musik lain menjadi sebuah
instrumen baru bernuansa instumen Barat. Jika diuraikan secara rinci musik
gamelan dapat disejajarkan irama musiknya dengan alat musik Barat. Contohnya:
(1) rebab dapat digantikan oleh alat musik biola.
(2) seruling digantikan flute.
(3) celempungan digantikan gitar melodi.
(4) ketuk digantikan ukulele.
(5) kendang ciblon menggantikan cello.
(6) gong menggantikan bass.
Irama yang dihasilkan dari alat musik
tersebut menyerupai gamelan Jawa namun tetap tidak meninggalkan ciri khas musik
keroncong, sehingga masyarakat awam bila mendengarkan seperti mendengarkan
musik keroncong yang irama dan nadanya mirip dengan gending Jawa. Pembawaan
vokal dalam keroncong langgam sedikit berbeda dengan keroncong asli dan stambul
karena tanpa cengkok dan gregel. Tempo yang digunakan adalah andante dan
moderato. Jumlah birama dalam musik keroncong langgam adalah 32 birama dan
bentuk kalimat A-A-B-A. Langgam Keroncong pada
perkembangannya memiliki irama yang lebih bebas. Contoh lagu keroncong
langgam antara lain Telaga Sarangan, Rayuan Bulan, Solo di Waktu Malam, Air
Terjun Tawang Mangu, Bandha Rupa, dan lain-lain. Jenis musik keroncong langgam
merupakan jenis baru yang muncul ketika
musik keroncong masuk di Surakarta. Dalam perkembangannya, musik keroncong jenis langgam banyak diminati oleh masyarakat
Surakarta. Dari aspek budaya, masyarakat Surakarta memiliki kedekatan dengan
budaya Jawa sehingga jenis musik keroncong baru seperti keroncong langgam mudah
diterima oleh masyarakat. Perkembangan musik keroncong di Surakarta dapat
dilihat dari data album rekaman musik keroncong
perusahaan rekaman Lokananta. Bila diperiodisasikan sebagai berikut:
periode pertama tahun 1957-1970 terdapat 142 lagu keroncong yang terdiri dari
96 lagu jenis keroncong asli, 12 lagu
keroncong stambul dan 34 lagu jenis keroncong langgam. Periode kedua tahun
1971-1980 terdapat 136 judul lagu keroncong meliputi 90 lagu jenis keroncong
asli, 22 lagu jenis keroncong stambul, dan 24 lagu jenis keroncong langgam.
Periode ketiga tahun 1981-1990 terdapat 26 lagu keroncong yang terdiri dari 18
lagu jenis keroncong asli, 4 lagu jenis keroncong stambul, dan 4 lagu jenis
keroncong langgam. Keroncong mengalami perkembangan pesat pada periode pertama dengan menghasilkan 142 lagu
keroncong yang direkam oleh perusahaan rekaman Lokananta. Pada periode kedua tahun 1971-1980 musik keroncong
tetap digemari, namun mengalami sedikit penurunan dari periode sebelumnya dengan menghasilkan 136
judul lagu keroncong. Pada periode ketiga tahun 1981-1990 musik keroncong
mengalami kemunduran yang ditandai dengan menurunnya rekaman lagu keroncong
oleh perusahaan rekaman Lokananta dengan menghasilkan 26 judul lagu keroncong
saja. Di Surakarta banyak terbentuk grup orkes keroncong baik amatir maupun
profesional. Grup-grup orkes keroncong yang tergolong profesional dapat
diketahui dari data grup yang melakukan rekaman di Lokananta dan dikenal oleh
masyarakat luar Surakarta. Grup orkes keroncong asli Surakarta yang melakukan
rekaman di Lokananta kurang lebih ada 11 grup orkes keroncong antara lain Orkes
Keroncong Asli Surakarta, orkes keroncong Cendrawasih, Cempaka Putih, Mawar
Sekuntum, dan lain-lain. Sedangkan grup orkes keroncong amatir di Surakarta
hampir di setiap Rukun Tetangga terdapat grup orkes keroncong yang sering
digunakan sebagai sarana berkumpul oleh masyarakat. Banyak musisi dan penyanyi
keroncong dari Surakarta yang populer dan karyanya digemari baik di tingkat
nasional maupun internasional. Penyanyi dan musisi keroncong asal Surakarta
seperti Gesang, Waldjinah, Andjar Any, dan Sundari Soekotjo mempopulerkan
ketiga jenis musik keroncong yaitu keroncong asli, stambul dan keroncong
langgam. Gesang dengan lagunya Bengawan Solo menjadi sangat populer dan menjadi
simbol musik keroncong dunia. Hal ini menjadi salah satu alasan Surakarta
sebagai pusat perkembangan musik
keroncong. Selain dari musisi dan penyanyi yang cukup populer di atas, Surakarta menjadi salah satu
barometer perkembangan musik keroncong.
Hal ini terbukti dengan mulai banyak lahir seniman musik keroncong di
Surakarta. Dari data album rekaman Lokananta tahun 1957-1983 terdapat kurang
lebih 50 orang penyanyi keroncong dan tergabung dalam 11 grup orkes keroncong.
Penyanyi keroncong tersebut diantaranya S. Dharsih Kiswoyo, Maryati, Suharni,
Suprapti, Netty, Ismanto, dan masih banyak lagi. Tidak ada penjelasan khusus
yang menyebutkan siapa saja penyanyi beraliran keroncong asli, stambul dan
langgam karena di Surakarta semua musisi dan penyanyi menguasai ketiga jenis
musik keroncong yaitu keroncong asli, stambul, dan langgam. Begitu juga dengan
grup orkes keroncong yang dalam setiap album keroncong di dalamnya terdapat
ketiga jenis keroncong yaitu keroncong asli, stambul, dan langgam. Di Surakarta
ketiga jenis musik keroncong berkembang bersama. Meskipun musik jenis keroncong
langgam muncul ketika keroncong masuk di Surakarta, namun masyarakat Surakarta
tetap mengembangkan ketiga jenis musik tersebut bersama.
4. Kemunduran Musik
Keroncong Musik keroncong di Surakarta berkembang sejak tahun 1960 dan mulai
mengalami kemunduran sejak tahun 1990.
Data album rekaman keroncong dari
Lokananta mencatat bahwa rekaman album keroncong dimulai sejak tahun 1958
hingga tahun 1983. Kemunduran musik keroncong di Surakarta dibagi menjadi
beberapa faktor yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal
kemunduran musik keroncong di Surakarta adalah pengaruh jenis musik lain
seperti pop, dangdut, rock, dan jazz yang lebih diminati oleh masyarakat. Jenis
musik tersebut berasal dari luar Indonesia sebagian besar berasal dari Barat
meliputi musik pop, rock, dan jazz serta dari Melayu yaitu musik dangdut. Musik
jazz merupakan jenis musik yang berasal dari musik kaum negro di Amerika dan
berkembang pada abad ke-20. Pada tahun 1950 di Amerika berkembang sebuah aliran
yang disebut “popular music” yang kemudian di kenal dengan musik pop. Bersamaan
dengan musik pop, pada tahun 1950 di Amerika juga mulai dikenal musik rock yang
identik dengan anak muda yang populer dengan istilah Rock’n Roll. Ketiga jenis
musik tersebut berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia
masuknya jenis-jenis musik tersebut adalah karena pengaruh dari media
elektronik. Musik jazz masuk ke Indonesia dan mulai dikenal masyarakat sekitar
tahun 1960 yang ditandai dengan dibentuknya “Indonesian Allstars” oleh Jack
Lesmana. Musik jazz dalam perkembangannya di Indonesia memiliki peminat
sendiri, hingga tahun 1990 musik jazz sebagian besar eksistensinya ditunjukkan
dari diadakannya pertunjukan dan festival musik jazz. Baru pada tahun 1994 dibuat album bergenre jazz
oleh grup “Krakatau” dengan judul “ Mysthical Mist ” dengan musisinya yang
terdiri dari Indra Lesmana, Dwiki Dharmawan, Tri Utami, dan lain-lain.
Dibuatnya album bergenre jazz pada tahun
1994 menunjukkan bahwa pada tahun tersebut minat musik masyarakat mulai beragam
dan tidak condong pada salah satu aliran musik saja. Masuknya jenis musik pop/rock
di Indonesia mulai dikenal luas oleh masyarakat sekitar tahun 1950. Musik
pop/rock di Indonesia tidak banyak mengalami
perubahan dari musik pop/rock Barat, hanya perbedaan penggunaan bahasa dimana syairnya
menggunakan bahasa Indonesia. Musik pop
di Indonesia dalam perkembangannya
mendapatkan tempat tersendiri di masyarakat. Salah satu bukti adalah dengan
masuknya musik pop dalam kategori jenis musik yang dilombakan dalam acara
pemilihan Bintang Radio di RRI bersama dengan jenis musik keroncong dan
seriosa. Jenis musik populer lain adalah dangdut. Istilah dangdut diciptakan
oleh Billy Chung yang diambil dari suara alat musiknya berupa perkusi tabla.
Musik dangdut erat hubungannya dengan irama melayu dan perkusi tabla India.
Kepopuleran musik dangdut sudah ada sejak tahun 1970 yang di bawakan oleh Rhoma
Irama. Awalnya penggemar musik dangdut
sebagian besar adalah kalangan bawah, berbeda dengan musik jazz, pop dan rock.
Rhoma irama mengatakan bahwa sejak tahun 1970
penggemar musik dangdut dengan musik lainnya terutama musik rock saling
bermusuhan, hingga pada tahun 1989 dilakukan perdamaian antara musik dangdut
dan rock dengan diadakannya pertemuan antara musisi dangdut yang diwakili oleh
Soneta dan musik rock yang diwakili oleh Goodbles. Sejak peristiwa
tersebut, pertikaian antara penggemar
musik tersebut berkurang, dan perkembangan musik dangdut dan rock tidak
dibatasi karena memiliki penggemarnya masing-masing. Jenis musik pop, rock,
jazz, dan dangdut di Indonesia turut berkembang pula di Surakarta. Sebenarnya
telah dilakukan beberapa usaha untuk mengatasi masalah ini dengan menggabungkan
musik keroncong dengan jenis musik lainnya dan menghasilkan jenis musik baru Cong-Pop, Cong-Rock,
Cong-Jezz, dan Cong Dut. Penggabungan tersebut ada beberapa cara, pertama jenis lagu-lagu pop, rock, jazz, dan
dangdut dibawakan dalam irama keroncong, kedua lagu-lagu keroncong yang
diaransemen dalam jenis musik pop, rock, jazz, dan dangdut.
Pada tahun 1990 munculnya grup musik
“Cong-Rock 17” mempelopori jenis musik keroncong baru yang dipengaruhi oleh
musik rock. Lahirnya grup musik “Honocoroko” mempelopori jenis keroncong yang
dipengaruhi oleh musik dangdut. Kedua grup tersebut membawa perubahan pada
perkembangan musik keroncong di Surakarta. Grup musik “Cong-Rock 17” dan grup
“Honocoroko” yang membawa genre dan aliran yang disebut dengan “Cong-rock” atau
Keroncong-Rock dan “Dangkron” atau Dandut-Keroncong. Sejak tahun 1972
sebenarnya musik keroncong ini pernah
mengalami proses akulturasi (perkawinan genre musik) dengan musik lain yang
berkembang pada waktu itu. Salah satunya adalah musik pop. Dalam majalah Tempo
pernah ditulis tentang proses dan hasil
perkawinan genre musik tersebut dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Menikah
Pop dengan Keroncong” yang memuat berita mengenai berita perlombaan Bintang
Radio yang diadakan oleh Radio Republik Indonesia. Dalam perlombaan tersebut
para peserta lomba menyanyikan perpaduan
lagu keroncong dengan lagu pop. Artikel tersebut menyebutkan bahwa salah satu
tantangan dari perlombaan adalah kemampuan
peserta lomba dalam menyanyikan lagu pop berirama keroncong atau lagu
keroncong yang diaransemen dengan alat musik dari musik pop. Berbagai macam
usaha dilakukan untuk menjaga eksistensi musik keroncong agar tetap diterima
oleh masyarakat. Namun dalam perkembangannya, peminat musik keroncong sebagian
berasal dari golongan tua. Kegiatan lomba di atas kurang mampu untuk menarik
minat generasi muda melestarikan musik keroncong sebagai kebanggaan kota
Surakarta. Sebagian besar para pemuda
beralih pada jenis musik baru seperti pop, rock, dangdut, dan lain-lain.
Pembawaan jenis musik tersebut lebih bebas dan lirik lagu yang menceritakan
kehidupan sehari-hari para pemuda masa itu membuat jenis musik baru mudah untuk diterima di telinga
masyarakat. Gaya busana yang digunakan
oleh penyanyi dan musisi terutama musik pop yang modern menjadi daya tarik
tersendiri golongan muda. Faktor eksternal kemunduran musik keroncong di
Surakarta selanjutnya adalah perusahaan rekaman Lokananta yang memegang peranan
penting dalam perkembangan keroncong di
Surakarta dan Indonesia pada tahun
1970-an. Sejak tahun 1983 Lokananta tidak lagi merekam lagu keroncong baru.
Turunnya minat masyarakat terhadap musik keroncong serta munculnya perusahaan rekaman baru yang memiliki
perlengapan modern dan banyak merekam lagu-lagu yang banyak diminati masyarakat
menjadi alasan mengapa Lokananta tidak memproduksi album keroncong sejak tahun
1983. Selain itu juga munculnya lagu-lagu selain keroncong yang mulai banyak diproduksi
oleh perusahaan rekaman secara umum mendorong Lokananta mulai kurang diminati.
Kemunduran ini semakin diperkuat oleh munculnya perusahaan rekaman baru di luar
Surakarta yang memiliki perlengkapan rekaman lebih maju dan mengikuti trend
musik yang berkembang. Jumlah grup musik keroncong yang cukup banyak di
Surakarta tidak berdampak pada meningkatnya
penjualan album keroncong. Sebagian besar kaset keroncong yang paling
laris terjual adalah album yang diproduksi pada tahun 1970-1980. Setelah tahun
1980 penjualan terhadap album keroncong
mulai mengalami penurunan. Hal senada
juga diungkapkan oleh Magdalia Alfian dalam penelitiannya yang menjelaskan:
Based on my observation on the cassette agents (stores) in the
Ngapeman-Surakarta, almost all of the cassettes/CDs which are sold are those
which were entirely produced in 1970s to
1980s. Setelah tahun 1983-1990, produksi musik keroncong dalam bentuk kaset/CD
di Lokananta dapat dikatakan berhenti.
Produser musik beranggapan bahwa musik keroncong tidak bisa bersaing dengan
musik pop yang berasal dari lagu-lagu
Barat maupun Indonesia. Hal ini menyebabkan perkembangan perusahaan rekaman
Lokananta sejak tahun 1983 mengalami kemunduran. Kurangnya perhatian pemerintah
terhadap keberadaan perusahaan rekaman
Lokananta menjadi penyebab lain kemunduran perusahaan rekaman yang pada tahun
1970-an keberadaanya merupakan faktor penting
perkembangan musik keroncong di Surakarta. Selain faktor eksternal,
kemunduran musik keroncong di Surakarta juga disebabkan oleh beberapa faktor
internal. Faktor internal penyebab kemunduran musik keroncong di Surakarta
salah satunya dari grup orkes keroncong itu sendiri. Di Surakarta pada awal
tahun 1990 musik keroncong masih diminati, namun pada awal tahun 1990 banyak grup musik keroncong
yang sudah berdiri sejak awal tahun 1960 membubarkan diri dikarenakan beberapa
alasan, antara lain sistem “juragan” yang membuat grup orkes keroncong lemah
dalam pengelolaan grup. Ketika pemimpin grup orkes keroncong sakit ataupun
meninggal dunia maka grup tersebut bubar. Anggota kelompok yang tidak tetap dan
sering berganti-ganti juga menjadi kendala dalam perkembangan musik keroncong. Alasan
sering bergantinya anggota antara lain
karena menikah, sekolah, dan lain-lain. Hal terebut sangat dimungkinkan karena
untuk menjadi anggota grup orkes keroncong tidak ada batasan umur. Anggota yang sering
berganti-ganti akan berpengaruh pada
permainan musik keroncong karena musik keroncong yang harus dimainkan secara
kelompok, menuntut keharmonisan para anggota grup dalam memainkan alat musiknya
Perbedaan juga terdapat pada musisi dan penyanyi keroncong. Pada masa keemasan
musik keroncong tahun 1960-1990 menjadi musisi dan penyanyi keroncong merupakan
sebuah pekerjaan, namun setelah tahun 1990 sebagian besar para musisi dan
penyanyi keroncong tidak lagi menggunakan musik keroncong sebagai mata pencarian utama, melainkan sebagai penyalur
hobi dan tetap menjaga kelestarian budaya. Hal ini disebabkan mulai sepinya
undangan manggung untuk pertunjukan baik
hajatan maupun undangan resmi.
Sebelum tahun 1990 hampir di setiap
acara seperti acara pernikahan, acara budaya, dan lain-lain, musik keroncong
sering diundang sebagai hiburan masyarakat. Setelah tahun 1990 pertunjukan
musik keroncong dalam acara-acara hajatan yang diadakan masyarakat semakin
jarang dilakukan. Banyak musisi-musisi keroncong yang berprofesi ganda, seperti
menjadi guru musik, pegawai pemerintahan, pedagang, dan lain-lain. Menurunnya
kreatifitas para musisi keroncong ditandai dengan minimnya lagu baru yang
diciptakan. Sebagian besar rekaman album keroncong setelah tahun 1990 hanya
me-recycle lagu-lagu lama yang populer pada masa keroncong abadi. Hal tersebut
juga diungkapkan oleh Sunarti dalam penelitiannya yang menjelaskan: The
decrease of keroncong music can bee seen from the decrease of keroncong
recording albums. Feor examples, in the 1970s, Waldjinah produced 44 recording
albums, and in the 1980s, she produsced 88 albums. In the 1990s, there were
only 38 albums and then in hte 2000s, there were 6 albums only. Althought
people who interested in keroncong music decreased more and more, the music
does not extinct. Alasan lain mengapa rekaman album keroncong tidak sebanyak
tahun 1970-1980 adalah karena produser musik yang mengikuti selera pasar dimana
minat masyarakat terhadap musik jenis pop dari Barat dan pop Indonesia semakin
besar. Hal ini berdampak pada
perkembangan musik keroncong di Indonesia termasuk di Surakarta. Pada
pertengahan tahun 1990-an, karena menganggap perkembangan musik keroncong di Surakarta
yang cenderung monoton, para pemuda saat itu
banyak yang berinisiatif untuk menggagas pembentukan grup musik
keroncong baru. Salah satu grup musik keroncong yang terbentuk pada masa ini
adalah orkes keroncong Swastika tepatnya dibentuk tahun 1994. Menurut penuturan
pendiri orkes keroncong Swastika Bapak Sapto Haryono, kendala yang dihadapi
pada awal pembentukan grup adalah minat
masyarakat terhadap musik keroncong menurun, karena ada anggapan bahwa musik keroncong
digolongkan sebagai musik jaman dahulu. Sebagian besar penggemar musik
keroncong adalah orang-orang tua, yang sebagian besar beranggapan bahwa aturan baku dalam musik keroncong
hukumnya mutlak. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab musik keroncong pada
tahun 1990-an dianggap kuno oleh masyarakat dan tidak dapat mengikuti
perkembangan musik yang pada masa itu banyak dipengaruhi oleh musik pop Barat.
Keinginan generasi muda di Surakarta tahun 1990-an untuk melestarikan musik
keroncong kurang mendapat dukungan positif dari generasi tua (generasi musik
keroncong tahun 1960-1980). Generasi muda dalam membawakan musik keroncong
dengan gaya bebas dan tidak mengikuti
aturan baku, membuat golongan tua kurang setuju. Salah satu contoh generasi
muda yang melestarikan musik keroncong adalah grup orkes keroncong Swastika.
Para musisi keroncong golongan tua menganggap para generasi muda sebagai pesaing mereka, sehingga menghambat proses
transfer ilmu dalam memainkan musik keroncong. Golongan tua ingin aturan dalam
bermain keroncong tetap dipertahankan seperti jumlah birama yang
membedakan jenis keroncong meliputi
aturan urutan intro, coda, akor, jumlah
birama, bentuk kalimat yang berbeda-beda dan menunjukkan masing-masing ciri
jenis keroncong baik keroncong asli, stambul, dan langgam. Golongan muda
menuntut adanya perubahan seperti kebebasan dalam memainkan musik keroncong
tanpa menghilangkan aturan yang telah menjadi ciri khas dari masing-masing
jenis keroncong, tapi golongan muda menganggap bahwa permainan musik keroncong
yang monoton begitu-begitu saja memberikan kesan kuno terhadap musik keroncong.
Golongan muda ingin menciptakan musik keroncong baru yang lebih modern dan
dapat diterima oleh segala lapisan masyarakat dan dapat dinikmati oleh semua
usia. Hal ini yang menyebabkan golongan tua merasa keberadaan musik keroncong
menjadi terancam keasliannya. Golongan tua tidak ingin ada perubahan pada musik keroncong, sedangkan generasi muda
ingin membawa modernisasi pada musik keroncong. Hal ini yang membuat terhambatnya
transfer ilmu dari musisi keroncong golongan tua yang telah memiliki
banyak pengalaman kepada para generasi
muda. Di Surakarta musik keroncong memiliki tempat tersendiri di hati
masyarakatnya. Meskipun masa kejayaan musik keroncong telah lewat, namun di
Surakarta musik keroncong masih dilestarikan dengan baik daripada daerah lain di Indonesia. Upaya
yang dilakukan pemerintah dalam melestarikan musik keroncong antara lain dengan
dibentuknya HAMKRI (Himpunan Artis Musik Keroncong Republik Indonesia) pada 16 September 1976 di Jakarta oleh R.
Maladi (mantan Menpora). Tujuan dibentuknya HAMKRI adalah untuk melestarikan
citra musik keroncong yang di dalamnya mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia. Namun dalam prakteknya, keberadaan HAMKRI di Surakarta dianggap
kurang efektif oleh para musisi dan seniman musik keroncong, sehingga kurang
mendapat perhatian. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan
pemberian dana APBD (Anggaran Pendapatan Daerah) kota Surakarta yang
dialokasikan untuk pelestarian musik
keroncong dengan diberikan kepada grup-grup musik keroncong melalui HAMKRI.
Dalam pelaksanaannya dianggap kurang
efektif oleh sebagian musisi keroncong karena dalam penggunaannya sering
terjadi penyimpangan seperti korupsi, dan pembagian yang tidak merata terhadap
grup musik keroncong. Pemerintah dan musisi keroncong di Surakarta tidak putus
asa dan tetap berusaha mempertahankan
pelestarian musik keroncong. Salah satunya dengan mengadakan pertunjukan
musik keroncong di tempat-tempat seperti Taman Sriwedari, Balai Sujadmoko,
Taman Budaya Surakarta, dan lain-lain. Upaya lain dilakukan oleh Radio Republik
Indonesia dengan mengadakan siaran yang di dalamnya berisi pertunjukan musik
keroncong.
Sumber:
wawancara Bapak Agung Pamuji Adi, Pengelola Bagian Kesenian
Musik Keroncong di Taman Budaya Surakarta tanggal 23 Februari 2015 Jadwal
pertunjukan musik keroncong tersebut telah ada sebelum tahun 1990 dan masih
bertahan hingga sekarang. Dari data tabel di atas dapat diketahui bahwa setiap
minggu di Surakarta mengadakan pertunjukan musik keroncong. Para musisi
keroncong yang melakukan pertunjukan dipilih secara bergantian untuk tiap
kelompok grup musik keroncong. Hal ini bertujuan untuk menjaga eksistensi musik
keroncong serta memberi kesempatan yang sama terhadap para musisi dan seniman
musik keroncong untuk berkarya.
Sumber:
“Lokananta Jadi Museum Musik?”. Koran Suara Merdeka, 22 September 2013. Jakarta.
“Bintang Radio/TVRI se-Jakarta, Tenang-tenang Dan
Nostalgik”. Majalah Mas: Musik-Artis-Santai, November 1975, edisi 81, hlm
38-39.
“Stambulan”. Majalah Mas: Musik-Artis-Santai, November 1975,
hlm 73.
“Ramai-ramai Menggalakkan Keroncong”. Koran Kompas, 3 Desember
1978, hlm 5
“Menikah: Pop dengan Keroncong”. Majalah Tempo, 28 Oktober
1972, hlm 40
0 comments: